Pokok-Pokok Islam
POKOK-POKOK IBADAH
Disusun
Oleh:
NAILUL AUTHAR
Pengasuh:
Drs. Baihaqi
A. Samad M.Ag.
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
BANDA ACEH
TAHUN 2016 M/1436 H
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas
kehadirat Allah SWT karena limpahan Rahmat dan Karunia-Nya, penulis dapat
menyusun makalah ini tepat pada
waktunya. Makalah ini membahas tentang POKOK-POKOK IBADAH.
Dalam penyusunan karya ilmiah ini, penulis
banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai
pihak, penulis dapat menyelesaikan makalah ini dan akhirnya tantangan itu bisa
teratasi dengan baik dan lancar.
Penulis menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materi. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis
harapkan untuk penyempurnaan makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberi manfaat kepada penulis sendiri
khususnya, teman-teman, dan pembaca pada umumnya.
Banda Aceh, 19 Mei 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………..…..…………... i
DAFTAR
ISI……………………………………………………………...….. ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang…………………………………….............................. 1
1.2.
Rumusan Masalah………………………………………………….…. 1
1.3.
Tujuan Pembahaasan………………………………….…….………… 2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Pokok-pokok
ibadah..............................................................................
3
2.2.
Pengertian
ittiba’................................................................................... 7
2.3.
Pengertian
taqlid.................................................................................... 8
2.4 Pengertian ijtihad.................................................................................. 10
2.5 pengertian
fatwa……………………………………………………... 13
BAB III PENUTUP
3.1.
Kesimpulan.......................................................... ............................... 16
3.2.
Saran.................................................................... ................................ 17
DAFTAR PUSTAKA…………………………………...………………..….. 18
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Agama islam merupakan ajaran yang sempurna,
lengkap dan universal yang terangkum dalam syariat,aqidah, dan akhlak. Artinya
seluruh ajaran islam bermuara pada tiga hal ini. Pada dasarnya satu kesatuan
ketiga unsur tersebut dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan, karena
ketiga unsure tersebut merupakan kerangka atau pondasi dasar dari agama, pada
kesematan ini kami akan membahas beberapa hal yang berkaitan dengan syariat
yang menyangkut dengan ibadah kepada Allah, seperti thaharah (bersuci).
Sesungguhnya bersuci dan bersih dalam islam
adalah termasuk hal-hal yang sangat esensial. Di samping wajib mensucikan diri
dari hadats kecil maupun hadats besar saat melaksanakan kewajiban-kewajiban
kepada Allah ta’ala, setiap orang muslim juga wajib membersihkan najis-najis
yang mengenai badan atau pakaiannya, supaya ia selalu dalam keadaan suci dan
bersih. Sehingga dengan leluasa ia bisa melaksanakan kewajiban ibadah-ibadah
yang disyaratkan harus dalam keadaan suci dan bersih.
Maka oleh karena itu penulis tertarik untuk
membahas pokok-pokok ibadah juga ittiba’, ijtihad, taklid, dan fatwa. Semoga
dengan hadirnya makalah ini sedikit banyaknya dapat membantu teman-teman dalam
beribadah.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja pokok
ibadah ?
2. Apa
pengertian dari ittiba' ?
3. Apa pengertian
dari taqlid ?
4. Apa pengertian
dari ijtihad ?
5. Apa
pengertian dari fatwa ?
1.3 Tujuan
Pembahasan
1. Untuk mengetahui apa saja pokok ibadah, apa pengertian dari ittiba’, apa pengertian dari
ijtihad, apa pengertian dari ta’liq, serta apa pengertian dari fatwa.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pokok-pokok ibadah
Ibadah
secara bahasa ada tiga makna ta’at الطاعة) ) tunduk الخضوع)) hina (الذلّ) dan (التنسّك) pengabdian. Jadi ibadah itu merupakan
bentuk ketaatan, ketundukan, dan pengabdian kepada Allah.
Ibadah dalam arti umum adalah segala perbuatan
orang Islam yang halal yang dilaksanakan dengan niat ibadah. Sedangkan ibadah
dalam arti yang khusus adalah perbuatan ibadah yang dilaksanakan dengan tata
cara yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Saw. Ibadah dalam arti yang khusus
ini meliputi Thaharah, Shalat, Zakat, Shaum, dan Hajji.
Dari dua pengertian tersebut jika digabungkan,
maka Fiqih Ibadah adalah ilmu yang menerangkan tentang dasar-dasar hukum-hukum
syar’i khususnya dalam ibadah khas seperti meliputi thaharah, shalat, zakat,
shaum, hajji, kurban, aqiqah dan sebagainya yang kesemuanya itu ditujukan
sebagai rasa bentuk ketundukan dan harapan untuk mecapai ridla Allah.
a. Pengertian Thaharah
Menurut bahasa thaharah artinya
suci, sedangkan menurut istilah, yang dimaksud suci (Thaharah) ialah suci dari
hadats dan najis.
Beberapa media untuk bersuci
terdiri dari air, tanah, dan batu.
1. Air
Air yang terbagi tiga
a. Air yang suci
menyucikan (Air muthlak)
Air itu suci di dalam dirinya sendiri dan menyucikan yang lain, adapun yang termasuk katagori ini antara lain, air hujan, air salju, air embun, air laut, air mata air, air sumur, air sungai.
b. Air yang suci
tidak menyucikan (Air musta’mal)
Air musta’mal ialah air yang
menetes atau terjatuh dari anggota tubuh orang yang berwudhuk dan mandi.
c. Air muta najis
Adalah air yang bercapur dengan
najis yang dapat mengubah rasa, warna, dan bau.
2. Tanah
Tanah dapat dgunakan berwudhuk
apabila tidak ada air atau susah mendapatkan air dengan cara melakukan
tayammum.
3. Batu
Batu dapat digunakan sebagai
arternatif kedua apabila tidak ada air untuk menyucikan tempat keluarnya
kotoran dari salah satu dua jalan.
b. Pengertian Shalat
Shalat menurut bahasa berarti, do’a.
Sedangkan shalat menurut istilah, suatu perkataan dan perbuatan yang diawali
dengan takbir dan diakhiri dengan salam
Sebagai mana
firman Allah ta’ala
وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ
سَكَنٌ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ….
Artinya:...Dan berdoalah untuk mereka, karena
sesungguhnya doamu itu akan menjadi ketentraman jiwa bagi mereka
(At-Taubah:103)
Hukum
shalat adalah wajib. Hal ini sesuai dengan al-qur’an, assunnah dan ijma’ para
ulama. Seperti dalam firman Allah
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ
مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ
وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Artinya: Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali
untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan
agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat menunaikan zakat
(Al-Bayyinah:5)
Shalat
yang diwajibkan kepada umat islam ada lima waktu yaitu, zuhur, ashar, maqrib,
isya, dan subuh.
Syarat-syarat shalat terdiri dari:
- a. islam
- b. baligh
- c. berakal
- d. suci dari hadats
d.
Pengertian puasa
Puasa menurut pengertian bahasa ialah
menahan diri, sedangkan menurut istilah menahan diri dan menjauhi dari segala
sesuatu yang bisa membatalkan puasa.
Kita diwajibkan berpuasa pada bulan
Ramadhan, yang tidantai dengan terbitnya hilal meskipun yang melihatnya hanya
satu orang dari orang yang terpercaya. Dari ibnu Umar ra dia berkata
orang-orang sedang berusaha melihat hilal, lalu aku memberi tahu Rasulullah SAW
bahwasanya aku telah melihatnya kmudian beliau berpuasa dan memerintahkan
manusia untuk berpuasa (HR Abu dawud)
Syarat-syarat puasa islam, baligh,
berakal, mampu melaksanakan puasa.
e.
Pengertian Zakat
Zakat menurut bahasa artinya berkembang
dan berkat, adapun menurut istilah zakat berarti sesuatu yang dikeluarkan atas
nama harta atau jiwa, kepada orang yang berhak menerimannya dengan mekanisme
tertentu.
Zakat diwajibkan kepada umat muslim
(Bukan budak) yang memiliki hak penuh atas harta yang wajib zakat dan telah
mencapai nisab.
Zakat diwajibkan kepada umat islam yang
memiliki harta sudah sampai pada nisabnya.
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ
بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ ۗ
وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,
dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka (QS At-Taubah:103)
Janis-janis harta yang wajib dikeluarkan zakat
- a. Hewan ternak
- b. Emas dan perak
- c. Zakat biji-bijian
- d. Zakat perniagaan
- e. Zakat harta terpendam (Rikaz) dan barang tambang
- f. Zakat buah-buahan
- Orang-orang yang berhak menerima zakat
- a. Fakir dan miskin
- b. Ibnu sabil
- c. Amil zakat
- d. Muallaf
- e. Hamba sahaya
- f. Orang yang berutang
- g. Musafir
f.
Pengertian Haji
Haji menurut bahasa berarti pergi menuju
sesuatu yang diagungkan, sedangkan menurut istilah pergi menuju baitul haram
untuk menunaikan aktivitas tertentu pada waktu tertentu.
Tempat-tempat tertentu yang dimaksud
adalah ka’bah di mekkah, shafa marwa, muzdalifah, dan arafah, sedangkan
perilaku tertentu adalah ihram, tawaf, sa’I, dan wukuf.
1. Syarat wajib haji yaitu, islam, berakal, merdeka,
baligh, sehat, dan mampu.
2. Rukun-rukun haji yaitu ihram, tawaf, sa’I, dan wukuf[1]
2.2Pengertian Ittiba’
Ittiba’ dalam bhs Arab, berasal dari kata kerja (fi’il): ‘ittaba’a,
yattabi’u, ittiba’an, muttabi’un, yang berarti menurut atau mengikuti.
Ittiba’ adalah menerima pendapat seseorang sedang yang menerima itu
mengetahui dari mana asal pendapat
itu, sedangkan definisi lain mengatakan menerima perkataan seseorang dengan
dalil yang kuat.[2]
Jika kita gabungkan kedua definisi di atas, dapat kita simpulkan
bahwa ittiba’, adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau
mujtahid, dengan mengetahui alasannya yang dianggap lebih kuat dengan jalan
membandingkannya.
Hukum ittiba’ adalah wajib, jika
kita tidak dapat berijtihad
sendiri. Dan inilah tujuan kita sebagai orang-orang muslim agar kita dapat
memahami secara baik agama kita dan semua peraturan-peraturan yang ada di
dalamnya. Kita di wajibkan bertanya apabila kita tidak mengerti dan mengetahui
dalilnya merupakan faktor yang sangat penting dalam kesempurnaan amal kita.
Macam-macam Ittiba’, ada dua macam ittiba’, yakni ittiba’ kepada
Allah dan kepada Rasul-Nya, dan ittiba’ kepada selain Allah dan Rasul-Nya.
a. Ittiba’ kepada Allah
dan Rasul-Nya
Ulama’ sepakat bahwa seluruh kaum muslimin wajib mengikuti segala
perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya.
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا
مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلًا مَا
تَذَكَّرُونَ
“ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jangan
kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil
pelajaran. (QS. Al A’raf :3)
b. Ittiba’ kepada selain Allah
dan Rasul-nya.
Ulama berbeda pendapat tentang ittiba’ kepada ulama atau para
mujtahid. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba’ itu hanya dibolehkan
kepada Allah dan Rasul-Nya, dan para sahabatnya saja. Tidak boleh kepada yang
lain. Hal ini dapat di ketahui melalui perkataan beliau kepada Abu Dawud, “berkata
Daud, aku mendengar Ahmad berkata, Ittiba’ itu adalah seorang yang mengikuti apa
yang berasal dari Nabi SAW, dan para sahabatnya”.[3]
2.3 Pengertian
Taqlid
Taqlid berasal dari kata qalada, yuqolidu, taqlidan, yang memiliki
arti mengikuti.Para ahli usul fiqih mengartikan taqlid yaitu “penerimaan
perkataan seseorang sedang engkau tidak mengetahui dari mana asal perkataan
itu.
Bagi orang yang sudah mencapai tingkatan mujtahid, maka dengan
kesepakatan fuqaha ia tidak diperbolehkan mengikuti pendapat orang dengan
menyalahi hasil ijtihadnya sendiri. Tetapi kalau dalam suatu persoalan ia
sendiri belum mengadakan ijtihad orang lain. Menurut pendapat yang kuat, ia
tidak boleh mengambil hasil ijtihad orang lain, dan ia harus mengadakan ijtihad
sendiri kewajiban pokok. Kebolehan mengikuti ijtihad orang lain bagi orang awam
dan tidak berlaku bagi orang yang sanggup mengadakan ijtihad sendiri.
Kebolehan mengikuti pendapat orang lain bagi orang biasa hanya
terbatas dalam soal-soal furu’ (soal perbuatan lahir), bukan dalam soal-soal
pokok (kepercayaan) dan orang yang bisa diikuti pendapatnya bukanlah orang
awam, melainkan orang yang ahli dalam melakukan ijtihad, berdasarkan dugaan
(keyakinannya) yang maksimal. Apabila dihubungkan dengan madzhab-madzhab
tertentu, maka seseorang bisa memakai satu madzhab dalam suatu persoalan, dan
bisa memakai madzhab lain dalam persoalan yang lain lagi, dengan syarat tidak
ada hubungan antara kedua persoalan tersebut dan tidak bermaksud mencari-cari
persoalan yang mudah-mudah saja.
Hukum taqlid, hukum taqlid dua bagi menjadi tiga hukum, yaitu
taqlid yang di haramkan, taqlid yang di bolehkan, dan taqlid yang di wajibkan.
1. Taqlid yang di haramkan :
a. Taqlid yang semata-mata
mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang-orang dahulu
kala yang bertentangan dengan Al-quran dan hadis.
b. Taqlid kepada perkataan atau
pendapat seorang, sedangkan yang bertaqlid mengetahui perkataan atau pendapat
itu salah.
c. Taqlid kepada orang
atau sesuatu yang tidak di ketahui kemampuan dan keahliannya, seperti menyembah
berhala, tetapi tidak mengetahui kemampuan, kekuasaan atau keahlian berhala
tersebut.
2. Taqlid yang di perbolehkan
Taqlid yang diperbolehkan adalah ber-taqlid kepada seorang mujtahid
atau beberapa orang mujtahid dalam hal yang belum ia ketahui hukum yang
berhubungan dengan persoalan atau suatu peristiwa dengan syarat bahwa yang
bersangkutan harus selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang di ikuti
itu.
3. Taqlid yang di wajibkan
Wajib ber-taqlid kepada orang yang perkataannya di jadikan sebagai
dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah SAW.[4]
Syarat orang yang bertaqlid adalah orang awam atau orang biasa yang
tidak mengerti hukum-hukum syara’ dan mengamalkannya. Adapun orang yang pandai
dan sanggup menggali sendiri hukum-hukum syara’ maka ia harus berjihad sendiri
kalau baginya masih cukup. Namun kalau waktunya sempit dan dikhawatirkan akan
ketinggalan waktu untuk mengerjakannya yang lain (dalam mengerjakan soal
ibadah) maka menurut suatu pendapat ia boleh mengikuti orang pandai lainnya.[5]
2.4 Pengertian Ijtihad
2.4 Pengertian Ijtihad
Ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh dengan mengerahkan segala
kemampuan nalar untuk menyelidiki dan menetapkan hukum suatu perkara
berdasarkan Al-Qur'an dan hadits. Suatu contoh adalah mengapa meminum minuman
berakohol diharamkan? Padahal Al-Qur'an tidak menjelaskan soal alkohol. Setelah
menyelidiki dengan cermat dan mempelajari ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits, maka
para ulama mengqiyaskan sifat minuman berakohol itu sama dengan khomar, yakni
memabukkan. Dan khomar telah diharamkan dalam Al-Qur'an. "Wahai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban
untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan
termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu
beruntung." (QS. 5/Al-Maidah: 90) Dan qiyas itu merupakan salah satu
bentuk ijtihad.
Dasar hukum ijtihad yang pertama adalah Al-Qur'an. "Kemudian jika kamu berbeda
pendapat tentang suatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rosul
(sunnahnya)." (QS. 4/An-Nisa': 59) Maka ambillah (kejadian itu) untuk
menjadi pelajaran wahai orang-orang yang memiliki pandangan." (QS. Al-Hasyr:
2)
Kebolehan berijtihad ini juga dijelaskan dalam hadits. Muadz bin
Jalal mengisahkan, ketika Muhammad Rosulullah saw. mengutusnya ke Yaman
bertanya kepadanya, "Apa yang akan kamu lakukan jika dihadapkan kepadamu
suatu masalah?" Muadz menjawab, "Aku putuskan dengan hukum yang ada
di Al-Qur'an." Nabi saw bertanya lagi, "Jika tidak ada hukumnya di
dalam AlQuran?" Mu'adz berkata, "Aku putuskan berdasarkan sunnah
Rosul saw." Rosul saw. bertanya kembali, "Jika tidak ada hukumnya
dalam As-Sunnah?" Muadz berkata, "Aku akan berijtihad dengan
mendapatkan." Kemudian Rosulullah saw. menepuk dadanya. "Segala puji
bagi Allah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rosul-Nya, demi keridhoan
Allah dan Rosul-Nya." (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Al Baihaqi)
Ijtihad ini telah dilakukan oleh Muhammad Rosulullah saw. Jadi
beliaulah mujtahid yang pertama. Tentu saja ijtihad yang dilakukan oleh Nabi
saw. terbatas pada masalah-masalah yang belum ditetapkan hukumnya oleh wahyu.
Jika ijtihad Nabi Muhammad saw. itu benar, maka turunlah wahyu membenarkannya.
Sebaliknya apabila ijtihad nabi SAW, itu
salah, maka turunlah wahyu meluruskannya. Contoh Ijtihad Rasulullah
saw. yang dibenarkan oleh Al-Qur'an adalah dalam masalah tawanan Perang Badr.
Beliau ketika itu, setelah bermusyawarah dengan para sahabat, memutuskan bahwa
tawanan perang dibebaskan dengan membayar fidiyah. Maka turunlah ayat yang
membenarkan keputusannya, "Tidak pantas bagi seorang nabi mempunyai
tawanan sebelum dia dapat melumpuhkan musuhnya di bumi. Kamu menghendaki harta
benda dunia, sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu)." (QS.
8/ Al-Anfal: 67) "Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah
kamu peroleh itu sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada
Allah. Sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. 8/A/-A nfal:
69)
Nabi Muhammad Rosulullah saw. juga pernah mengizinkan orang-orang
munafik untuk tidak turut berperang. Dan ternyata itu adalah kekeliruan beliau
dalam mengambil keputusan, maka turunlah ayat: "Allah memaafkanmu
(Muhammad). Mengapa engkau izinkan mereka (untuk tidak pergi berperang) sebelum
jelas bagimu orang-orang yang benar-benar (berhalangan) dan sebelum engkau mengetahui
orang-orang yang berdusta? Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari
kemudian, tidak akan meminta izin (tidak ikut) kepadamu untuk tidak berjihad
dengan harta dan jiwa mereka." (QS. 9/ At-Taubah: 43)
Setelah Muhammad Rosulullah saw. wafat, para sahabat mencarikan
solusi dari masalah yang bermunculan pada Al-Qur'an dan hadits. Dan jika
hukumnya tidak ditemukan dalam keduanya, para sahabat melakukan ijtihad.
Demikianlah yang dilakukan oleh keempat khulafaur rosyidin mulai dari Abu Bakar
ra. sampai Ali bin Abi Tholib. Dalam menghukumi masalah baru yang terus
bermunculan, mereka memusyawarahkannya dengan para sahabat yang lain. Setelah
itu diambillah keputusan dan ditetapkannya sebagai hukum. Maka terkenallah
ucapan Abu Bakar ra. jika berijtihad dengan pendapatnya, "Ini adalah
pendapatku. Jika benar itu dari Allah. Dan apabila salah, itu dari saya."
Tidak semua orang dibenarkan melakukan ijtihad. Seseorang yang
melakukan ijtihad haruslah memiliki delapan persyaratan pokok sebagaimana
dinyatakan oleh Yusuf Qordowi.
1. Memahami ayat-ayat Al-Qur'an dengan asbabun nuzulnya (yakni
sebab-sebab turunnya
ayat Al-Qur'an), ayat-ayat nasikh dan mansukh (yang
menghapuskan dan yang dihapus)
2. Memahami hadis dan asbabul wurudnya (sebab-sebab munculnya
hadits)
3. Menguasai bahasa Arab
4. Mengetahui tempat-tempat ijmak
5. Memahami ushul fikih
6. Memahami maksud-maksud syariat
7. Memahami masyarakat dan adat-istiadatnya
8. Bersifat adil dan takwa
Selain syarat-syarat tersebut di atas, para ulama menambahkan tiga
syarat lain, yaitu:
1. menguasai ilmu ushuluddin/Tauhid/Aqidah (salah satu cabang
dari ilmu-ilmu keislaman
yang membahas pokok-pokok keyakinan dalam Islam.
2. memahami ilmu mantik (logika)
3. menguasai cabang-cabang fikih.
2.5 Pengertian Fatwa
Fatwa berasal dari bahasa arab فتوى, yang artinya nasihat,
petuah, jawaban ataupendapat. Adapun yang dimaksud adalah sebuah keputusan
atau nasihat resmi yang diambil oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakui
otoritasnya, disampaikan oleh seorang mufti atau ulama, sebagai tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan
oleh peminta fatwa (mustafti) yang tidak mempunyai keterikatan. Dengan demikian
peminta fatwa tidak harus mengikuti isi atau hukum fatwa yang diberikan
kepadanya. Hukum berfatwa adalah
fardu kifayah, kalau ada orang lain yang bisa memberi fatwa selain dirinya.[6]
Oleh karena fatwa itu menyangkut masalah agama maka tidak sembarang
orang bisa menduduki sebagai mufti syarat-syarat yang harus di miliki oleh
seorang mufti antara lain adalah:
a. Fatwanya
harus didasarkan kepada kitab-kitab induk yang mutabar agar fatwa yang
diberikan itu dapat diterima oleh penerima fatwa.
b. Apabila
ia berfatwa berdasrkan qoul seseorang alim, maka ia dapat menunjukan dasar
sumber pengambilan fatwanya itu, dengan demikian ia terhindar dari berbuat
salah dan bohong.
c. Seorang
mufti harus mengerti atau mengetahui berbagai macam pendapat ulama agar tidak
terjadi kesalah fahaman antara ia dan penerima fatwanya.
d. Seorang
mufti haruslah seorang alim yang memiliki kejujuran[7]
Keperluan terhadap fatwa sudah terasa sejak awal
perkembangan Islam. Dengan meningkatnya jumlah pemeluk Islam, maka setiap
persoalan yang muncul memerlukan jawaban. Untuk menjawab persoalan tersebut
diperlukan bantuan dari orang-orang yang kompeten di bidang tersebut. Dalam
masalah agama, yang berkompeten untuk itu adalah para mufti atau para mujtahid.
Di
Indonesia juga ada sejumlah buku kumpulan fatwa, seperti Tanya Jawab Agama dan Kata Berjawab yang
diterbitkan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, selain itu ada juga Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, serta
Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar Munas dan Konbes
Nahdlatul Ulama.
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun
para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan
langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama.
Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H,
bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan
atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu'ama yang datang dari berbagai
penjuru tanah air.
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah
berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi
bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang
peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat.Dalam perjalanannya, selama
dua puluh lima tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para
ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk:
1) Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat
Islam Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang
diridhoi Allah SWT.
2) Memberikan
nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada
Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah
Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan
kesatuan bangsa.
3) Menjadi penghubung
antara ulama dan umara (pemerintah).
4) Meningkatkan
hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan
muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya
umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.[8]
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Ibadah dalam arti
umum adalah segala perbuatan orang Islam yang halal yang dilaksanakan dengan
niat ibadah. Sedangkan ibadah dalam arti yang khusus adalah perbuatan ibadah
yang dilaksanakan dengan tata cara yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Saw.
Ibadah dalam arti yang khusus ini meliputi Thaharah, Shalat, Zakat, Shaum, dan
Hajji.Ittiba’ adalah
mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan
mengetahui alasannya serta mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang
dianggap lebih kuat dengan jalan membandingkannya.
Ittiba’ adalah menerima pendapat seseorang sedang yang menerima itu
mengetahui dari mana asal pendapat
itu, sedangkan definisi lain mengatakan menerima perkataan seseorang dengan
dalil yang kuat.
Taqlid adalah mengikuti pendapat seseorang mujtahid atau ulama
tertentu tanpa mengetahui sumber dan cara pengambilan pendapat tersebut
.
4 Ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh dengan mengerahkan segala
kemampuan nalar untuk menyelidiki dan menetapkan hukum suatu perkara
berdasarkan Al-Qur'an dan hadits.
5 Fatwa berasal dari bahasa arabفتوى, yang artinya nasihat, petuah, jawaban ataupendapat. Adapun yang
dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil oleh sebuah
lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya, disampaikan oleh seorang mufti atau ulama, sebagai tanggapan atau jawaban terhadap
pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) yang tidak mempunyai
keterikatan.
3.2 Saran
1 Demi penyempurnaan makalah ini, saran dan kritikan teman-teman
sangat dibutuhkan. Kesalahan dan kekeliruan yang terdapat dalam makalah ini
adalah bukti dari kerancuan pemikiran penulis, dan semua itu tidak lepas dari
sifat manusia yang selalu salah dan lupa.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Fatah, Rohadi, Analisis Fatwa Keagamaan, Bumi Aksara:Jakarta. 2006.
A. Basiq Djalil, 2010. ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua. Edisi pertama. Cetakan ke-1. Jakarta: Kencana.
Amirudin, Zen, Ushul Fiqih, Teras ; Yogyakarta. 2009
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fikih.Amzah. Semarang.
Koto, Alaiddin. 2004. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. PT.Raja Granfindo Persada. Jakarta.
Umam, Kairul dan Aminudin, H.A.Ayar. 2001. Ushul Fiqh II. Pustaka Setia. Badung.
[2] Jumantoro, totok dan samsul M A.
Kamus ilmu ushul fikihAmzah:Semarang.hlm:152
[3] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul
Fiqih, PT Raja Grafindo persadaa, Jaakarta, 2004
No comments: